Artikel The Power of Reflection: Making Reflective Practice Power-Sensitive ini membahas praktik refleksi dalam pendidikan, khususnya bagaimana refleksi sering dipandang sebagai aktivitas netral untuk peningkatan profesionalisme, padahal sebenarnya ia sarat dengan dinamika kuasa.
Penulis menyoroti bahwa refleksi tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial, politik, dan relasi kuasa yang ada dalam lingkungan pendidikan. Dengan kata lain, siapa yang berhak merefleksikan, apa yang direfleksikan, serta bagaimana refleksi itu dilakukan, semuanya dipengaruhi oleh posisi dan struktur kuasa.
Secara umum, refleksi sering diidealkan sebagai praktik untuk mengembangkan kesadaran diri, memperbaiki strategi mengajar, dan meningkatkan efektivitas pembelajaran. Namun, artikel ini mengingatkan bahwa refleksi juga dapat menjadi alat kontrol, misalnya ketika guru diminta menuliskan jurnal refleksi yang kemudian dinilai oleh atasan. Dalam situasi seperti ini, refleksi tidak lagi murni sebagai sarana pertumbuhan pribadi, tetapi berubah menjadi mekanisme disiplin dan penilaian. Oleh karena itu, penting untuk menjadikan praktik refleksi lebih power-sensitive, yaitu sadar terhadap bagaimana relasi kuasa memengaruhi proses refleksi.
Artikel ini mengajukan konsep The Reflection Cycle, sebuah kerangka yang menggambarkan proses refleksi dalam empat tahap utama:
- Mengalami (Experiencing) – Guru atau mahasiswa mengalami suatu peristiwa atau praktik mengajar.
- Mengartikulasikan (Articulating) – Pengalaman tersebut diceritakan kembali atau dituliskan, biasanya dalam bentuk catatan atau diskusi.
- Menganalisis (Analyzing) – Pengalaman dipahami lebih dalam, termasuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi, seperti struktur kuasa, kebijakan, atau norma sosial.
- Mengintegrasikan (Integrating) – Hasil analisis dijadikan dasar untuk perubahan praktik, baik di tingkat individu maupun sistem.
Penerapan Reflection Cycle ini menunjukkan bahwa refleksi yang peka terhadap kuasa mampu menghasilkan pemahaman yang lebih kritis. Guru tidak hanya menyalahkan dirinya sendiri ketika suatu pembelajaran tidak berjalan efektif, tetapi juga mampu melihat bahwa ada faktor struktural, seperti kurikulum yang kaku, beban administrasi, atau kebijakan yang tidak mendukung. Dengan demikian, refleksi menjadi sarana untuk memperjuangkan perubahan yang lebih luas, bukan hanya perbaikan teknis personal.
Dalam konteks Indonesia, Reflection Cycle ini sangat relevan untuk memperbaiki cara refleksi digunakan di sekolah maupun perguruan tinggi. Selama ini, praktik refleksi guru dan mahasiswa calon guru sering berhenti pada tahap artikulasi, yaitu sekadar menulis laporan atau catatan. Tahap analisis dan integrasi jarang disentuh secara mendalam, apalagi dikaitkan dengan faktor struktural atau kebijakan.
Sebagai contoh, ketika seorang guru kesulitan mengelola kelas yang besar, refleksi sering hanya berfokus pada kekurangan guru itu sendiri. Padahal, dengan Reflection Cycle, guru bisa melihat bahwa masalah juga bersumber dari rasio guru-murid yang terlalu tinggi atau kurangnya dukungan sarana pembelajaran. Jika refleksi diarahkan ke analisis sistemik seperti ini, maka hasilnya tidak hanya menyalahkan individu, melainkan juga mendorong advokasi perubahan kebijakan pendidikan.
Selain itu, Reflection Cycle dapat membantu mengatasi budaya hierarkis di Indonesia, di mana refleksi sering dilakukan dengan hati-hati karena takut mengkritik otoritas. Dengan kerangka ini, refleksi bisa diposisikan bukan sekadar evaluasi diri, tetapi sebagai dialog kritis yang memperkuat kolaborasi antar guru, mahasiswa, dan pimpinan lembaga pendidikan.
Artikel ini menyimpulkan bahwa refleksi memiliki kekuatan besar, tetapi kekuatan ini harus diarahkan secara sadar agar tidak menjadi alat kontrol, melainkan sarana pemberdayaan. Melalui Reflection Cycle, refleksi dapat menjadi proses dinamis yang mencakup pengalaman, artikulasi, analisis, dan integrasi menuju perubahan. Bagi Indonesia, penerapan siklus ini dapat memperdalam praktik refleksi yang selama ini cenderung administratif, sehingga menjadi alat kritis untuk meningkatkan kualitas pendidikan sekaligus memperjuangkan keadilan dalam sistem pendidikan.
Sumber Referensi:
Westin, M., Österbergh, R., Forsman, H., & Hellquist, A. (2025). The power of reflection: making reflective practice power-sensitive. Reflective Practice, 1–12. https://doi.org/10.1080/14623943.2025.2541424
